Selasa, 21 Agustus 2012

AQIDAH AHLUSUNNAH WALJAMAAH



 

PENGERTIAN ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

A. Definisi ‘Aqidah
‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ
) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]

Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih. [3]

B. Objek Kajian Ilmu ‘Aqidah[4]
‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.

Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.

• Penamaan ‘Aqidah menurut Ahlus Sunnah:
Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:

1. Al-Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka. [5]

2. ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.[6]

3. Tauhid
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]

4. As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.[8]

5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama. [9]

6. Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[10]

7. Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).[11]

Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.

• Penamaan ‘aqidah menurut firqah (sekte) lain:
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

1. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah [12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.

Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.

2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.

3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan penamaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.

Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.” [13]

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.” [14]

Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih men-dalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”[15]

4. Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang AllahSubhanahu wa Ta'alal menurut persepsi mereka.

5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.

C. Definisi Salaf (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama [16]. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[17]

Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”[18]

Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menegakkan agama-Nya...” [19]

Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.[20]

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in. Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan ‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan. [21]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)[22] berkata: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [23]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab (IX/311: عقد) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) t dan Mu’jamul Wasiith (II/614: عقد).
[2]. Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat Allah.
[3]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, cet. II/ Daarul ‘Ashimah/ th. 1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.
[4]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 12-14).
[5]. Seperti Kitaabul Iimaan karya Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (wafat th. 224 H), Kitaabul Iimaan karya al-Hafizh Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah (wafat th. 235 H), al-Imaan karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitabul Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H), رحمهم الله .
[6]. Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Lalika-i (wafat th. 418 H) dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H), رحمهم الله.
[7]. Seperti Kitaabut Tauhiid dalam Shahiihul Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H), Kitaabut Tauhiid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitaab I’tiqaadit Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitaabut Tauhiid oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitaabut Tauhiid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (wafat th. 1206 H), رحمهم الله.
[8]. Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311 H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahari (wafat th. 329 H), رحمهم الله.
[9]. Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 387 H) dan al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H), رحمهم الله.
[10]. Seperti kitab al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah t (wafat th. 150).
[11]. Seperti kitab asy-Syarii’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syarii’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.
[12]. Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalaam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
[13]. Ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatuth Tashawwuf karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan (hal. 18-19).
[14]. At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir (hal. 50), cet. I/ Idaarah Turjumanis Sunnah, Lahore-Pakistan, th. 1406 H.
[15]. Mashra’ut Tashawwuf (hal. 10), cet. I/ Riyaasah Idaaratil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th. 1414 H.
[16]. Lisaanul ‘Arab (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) rahimahullah.
[17]. Lihat al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Maghrawi, Muassasah ar-Risalah, th. 1420 H.
[18]. Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[19]. Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11).
[20]. Al-Mufassiruun bainat Ta’-wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/13-14) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush Shaalih (hal. 34).
[21]. Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa' wal Bida’ (I/63-64) karya Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili, Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf (hal. 21) karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah.

[22]. Beliau adalah Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin ‘Abdillah bin Khidhir bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdillah bin Taimiyyah al-Harrani. Beliau lahir pada hari Senin, 14 Rabi’ul Awwal th. 661 H di Harran (daerah dekat Syiria). Beliau seorang ulama yang dalam ilmunya, luas pandangannya. Pembela Islam sejati dan mendapat julukan Syaikhul Islam karena hampir menguasai semua disiplin ilmu. Beliau termasuk Mujaddid abad ke-7 H dan hafal Al-Qur-an sejak masih kecil. Beliau rahimahullah mempunyai murid-murid yang ‘alim dan masyhur, antara lain: Syamsuddin bin ‘Abdul Hadi (wafat th. 744 H), Syamsuddin adz-Dzahabi (wafat th. 748 H), Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H), Syamsuddin Ibnu Muflih (wafat th. 763 H) serta ‘Imaduddin Ibnu Katsir (wafat th. 774 H), penulis kitab tafsir yang terkenal, Tafsiir Ibnu Katsiir.

‘Aqidah Syaikhul Islam adalah ‘aqidah Salaf, beliau rahimahullah seorang Mujaddid yang berjuang untuk menegakkan kebenaran, berjuang untuk menegakkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum tetapi ahlul bid’ah dengki kepada beliau, sehingga banyak yang menuduh dan memfitnah. Beliau menjelaskan yang haq tetapi ahli bid’ah tidak senang dengan dakwahnya sehingga beliau diadukan kepada penguasa pada waktu itu, akhirnya beliau beberapa kali dipenjara sampai wafat pun di penjara (tahun 728 H). Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, mencurahkan rahmat yang sangat luas dan memasukkan beliau rahimahullah ke dalam Surga-Nya. (Al-Bidayah wan Nihayah XIII/255, XIV/38, 141-145).
[23]. Majmu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (IV/149). ****************************************************************
MELURUSKAN AQIDAH JAMAAH TABLIGH 
Jika kita membincangkan tentang jamaah tabligh, biasanya mereka akan berkata ; “ itu ( jamaah tabligh ) bukan nama kita, terkadang kita juga dipanggil jamaah kompor atau jamaah dakwah dll. “ Apapun nama mereka sehinggalah kita namakan jamaah tabligh hanya untuk memudahkan saja dalam pembahasan ini.

Diantara ciri khas cara berdakwah jamaah tabligh adalah menghindari kajian dan soal jawab tentang ilmu-ilmu fiqh dan aqidah yang sering dituding sebagai 'biang pemecah belah umat', serta lebih menonjolkan sunnah dalam bab cara berpakaian, makan dan minum, tidur, dll yang membuat dakwah mereka sangat populer dan mudah diterima masyarakat berbagai lapisan.

Dikalangan masyarakat gerakan dakwah ini sangat populer, khususnya jika dikaitkan dengan akhlak. Mereka sangat menonjolkan akhlak dalam kehidupan sehari-hari, dan itu diantara perkara yang sangat di utamakan dalam prinsip dakwah mereka.
Pro dan kontra tentang mereka pun meruak. Maka dalam pembahasan disini, saya mencuba untuk bersikap adil.

Alhamdulillah, saya pernah bersama mereka, setidaknya saya ingin meletakkan suatu perkara pada tempatnya, karena pembahasan ini bukan untuk menjatuhkan maruah saudara-saudaraku jamaah tabligh. Pembahasan ini untuk pelajaran dan hikmah bagi saudaraku yang telah memahami, dan ini untuk renungan bagi saudaraku di jamaah tabligh untuk di teliti dan dikaji lalu disampaikan antara sesama untuk suatu perubahan.

Bagaimanakah hakikat jamaah tabligh yang bermarkaz di India, Pakistan dan Banglades ? Kajian dibawah ini adalah jawabannya.

Pendiri Jamaah Tabligh

Jamaah Tabligh didirikan oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi. Al-Kandahlawi merupakan nisbat dari Kandahlah, sebuah desa yang terletak di daerah Sahranfur. Sementara Ad-Dihlawi dinisbatkan kepada Dihli (New Delhi), ibukota India. Di tempat dan negara inilah, markas gerakan Jamaah Tabligh berada. Adapun Ad-Diyubandi adalah nisbat dari Diyuband, yaitu madrasah terbesar bagi penganut madzhab Hanafi di semenanjung India. Sedangkan Al-Jisyti dinisbatkan kepada tarekat Al-Jisytiyah, yang didirikan oleh Mu’inuddin Al-Jisyti.

Muhammad Ilyas sendiri dilahirkan pada tahun 1303 H dengan nama asli Akhtar Ilyas. Ia meninggal pada tanggal 11 Rajab 1363 H. (Bis Bri Musliman, hal.583, Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 144-146, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).

Latar Belakang Berdirinya Jamaah Tabligh

Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan, ”Ketika Muhammad Ilyas melihat mayoritas orang Meiwat (suku-suku yang tinggal di dekat Delhi, India) jauh dari ajaran Islam, berbaur dengan orang-orang Majusi para penyembah berhala Hindu, bahkan bernama dengan nama-nama mereka, serta tidak ada lagi keislaman yang tersisa kecuali hanya nama dan keturunan, kemudian kebodohan yang kian merata, tergeraklah hati Muhammad Ilyas. Pergilah ia ke Syaikhnya dan Syaikh tarekatnya, seperti Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi dan Asyraf Ali At-Tahanawi untuk membicarakan permasalahan ini. Dan ia pun akhirnya mendirikan gerakan tabligh di India, atas perintah dan arahan dari para syaikhnya tersebut.” (Nazhrah 'Abirah I’tibariyyah Haulal Jama'ah At-Tablighiyyah, hal. 7-8, dinukil dari kitab Jama'atut Tabligh Aqa’iduha Wa Ta’rifuha, karya Sayyid Thaliburrahman, hal. 19)

Merupakan suatu hal yang ma’ruf di kalangan tablighiyyin (para pengikut jamah tabligh, red) bahwasanya Muhammad Ilyas mendapatkan tugas dakwah tabligh ini setelah kepergiannya ke (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal.makam Rasulullah 3).

Markas Jamaah Tabligh

Markas besar mereka berada di Delhi, tepatnya di daerah Nizhamuddin. Markas kedua berada di Raywind, sebuah desa di kota Lahore (Pakistan). Markas ketiga berada di kota Dakka (Bangladesh). Yang menarik, pada markas-markas mereka yang berada di daratan India itu, terdapat hizb (rajah) yang berisikan Surat Al-Falaq dan An-Naas, nama Allah yang agung, dan nomor 2-4-6-8 berulang 16 kali dalam bentuk segi empat, yang dikelilingi beberapa kode yang tidak dimengerti. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 14)

Yang lebih mengenaskan, mereka mempunyai sebuah masjid di kota Delhi yang dijadikan markas oleh mereka, di mana di belakangnya terdapat empat buah kuburan. Dan ini menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani, di mana mereka menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih dari kalangan mereka sebagai masjid. Padahal Rasulullah melaknat orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, bahkan mengkhabarkan bahwasanya mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi . (Lihat Al-Qaulul Baligh Fit Tahdziri Min Jama’atit Tabligh,Allah karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri, hal. 12)

Sebagaimana kita pahami bahwa akidah asya’irah dan maturudiyah, fanatik bermazhab, dan mengamalkan tarekat sufi tidak dicontohkan oleh Nabi saw dan atsar para sahabatnya. Jamaah Tabligh didirikan oleh seorang sufi dari tarekat Jisytiyyah yang berakidah Maturidiyyah dan bermadzhab fiqih Hanafi. Ia bernama Muhammad Ilyas bin Muhammad Isma'il Al-Hanafi Ad-Diyubandi Al-Jisyti Al-Kandahlawi kemudian Ad-Dihlawi.

Perkara diatas menunjukkan bahwa pemahaman dan amalan pendiri jamaah tabligh bertentangan dengan sunnah nabi saw dan para sahabatnya. Untuk pembahasan ini, alangkah baiknya kalau para pembaca dapat mengenal terlebih dahulu tentang kesalahan-kesalahan akidah asya’irah, bahayanya fanatik mazhab dan ajaran tarekat sufi. Karena 3 perkara tersebut sangat membudaya dan merupakan amalan di kalangan jamaah tabligh, khususnya para senior dan para masyaikh di jamaah tesebut.

Diantara ciri khusus akidah asya’irah adalah mereka mentakwilkan makna sifat-sifat Allah, seperti mereka mengingkari bahwa Allah itu bersemayam di langit. Padahal pernyataan bahwa Allah bersemayam di langit adalah firman Allah sendiri di surah at Taha:5, serta merujuk pada hadis Mu’awiyah ibnu hakam as-sulami yang diriwayatkan muslim, dimana seorang budak perempuan mengatakan bahwa Allah dilangit, saat Nabi saw bertanya kepadanya. Ini juga sebagaimana apa yang di pahami oleh para sahabatnya seperti Abdullah Bin Abbas saat menafsirkan makna ‘istawa’ pada surah al-‘Araf: 54 dengan makna ’alaa alaihi war tafa’a (Allah berada diatas ‘Arsy dan tinggi, bukhari pada kitab tauhid). Bukankah kita wajib mengikuti pemahaman Nabi dan para sahabatnya dalam memahami Quran? Siapa yang tidak mengikuti jalan para sahabat Nabi saw dalam berislam, maka ia akan sesat. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:

Dan sesiapa Yang menentang (ajaran) Rasulullah sesudah terang nyata kepadanya kebenaran pertunjuk (yang dibawanya), dan ia pula mengikut jalan Yang lain dari jalan orang-orang Yang beriman(jalan para sahabat), Kami akan memberikannya Kuasa untuk melakukan (kesesatan) Yang dipilihnya, dan (pada hari akhirat kelak) Kami akan memasukkannya ke Dalam neraka jahanam; dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.an-Nisa:115.

Dan banyak lagi kemungkaran dari ajaran asya’irah yang bertentangan dengan sunah Nabi saw, pembahasan selengkapnya akan kita sampaikan pada kesempatan lain insya Allah.

Begitu juga unsur fanatik dalam bermazhab. Pada hakikatnya mereka mengajak manusia untuk beribadah mengikut mazhab. Mereka tidak memfokuskan untuk mengamalkan hadis-hadis shahih dalam ibadah, walaupun sudah jelas kelemahannya tetap saja berpegang pada mazhab.Bukankah kita diperintahan untuk mengikuti Nabi saw dalam ibadah?

Mereka membenarkan ajaran tarekat sufi, seperti naqsabandi, sadzili dll. Padahal amalan-amalan tarekat sufi seperti ini bertentangan dengan amalan Nabi saw, seperti adanya bai’at kepada syaikh guru dalam ibadah, membayangkan wajah guru dalam beribadah, berdzikir dengan lafaz ‘Allah’ saja dll. Sebaliknya ajaran tarekat sufi ini banyak diamalkan di jamaah tabligh, bahkan ia juga jadi amalan diantara para masyaikh-masyaikh tabligh.

ENAM SIFAT /  Perkara yang berunsurkan syubuhat

Jamaah Tabligh mempunyai suatu asas dan landasan yang sangat teguh mereka pegang, bahkan cenderung berlebihan. Asas dan landasan ini mereka sebut dengan al-ushulus sittah (enam landasan pokok) atau ash-shifatus sittah (sifat yang enam), dengan rincian sebagai berikut:


SIFAT PERTAMA 
Merealisasikan Kalimat Thayyibah Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah

Mereka menafsirkan makna Laa Ilaha Illallah dengan: “mengeluarkan keyakinan yang rusak tentang sesuatu dari hati kita dan memasukkan keyakinan yang benar tentang dzat Allah, bahwasanya Dialah Sang Pencipta, Maha Pemberi Rizki, Maha Mendatangkan Mudharat dan Manfaat, Maha Memuliakan dan Menghinakan, Maha Menghidupkan dan Mematikan”. Kebanyakan pembicaraan mereka tentang tauhid, hanya berkisar pada tauhid rububiyyah semata (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 4).

Padahal makna Laa Ilaha Illallah sebagaimana diterangkan para ulama adalah: “Tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah.” (Lihat Fathul Majid, karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh, hal. 52-55). Adapun makna merealisasikannya adalah merealisasikan tiga jenis tauhid; al-uluhiyyah, ar-rububiyyah, dan al-asma wash shifat (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-'Adnani, hal. 10). Dan juga sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan: “Merealisasikan tauhid artinya membersihkan dan memurnikan tauhid (dengan tiga jenisnya, pen) dari kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan.” (Fathul Majid, hal. 75)

Oleh karena itu, Asy-Syaikh Saifurrahman bin Ahmad Ad-Dihlawi mengatakan bahwa di antara 'keistimewaan' Jamaah Tabligh dan para pemukanya adalah apa yang sering dikenal dari mereka bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berikrar dengan tauhid. Namun tauhid mereka tidak lebih dari tauhidnya kaum musyrikin Quraisy Makkah, di mana perkataan mereka dalam hal tauhid hanya berkisar pada tauhid rububiyyah saja, serta kental dengan warna-warna tashawwuf dan filsafatnya. Adapun tauhid uluhiyyah dan ibadah, mereka sangat kosong dari itu. Bahkan dalam hal ini, mereka termasuk golongan orang-orang musyrik. Sedangkan tauhid asma wash shifat, mereka berada dalam lingkaran Asya’irah serta Maturidiyyah, dan kepada Maturidiyyah mereka lebih dekat”. (Nazhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jamaah At-Tablighiyyah, hal. 46).

SIFAT KEDUA
 Shalat dengan Penuh Kekhusyukan dan Rendah Diri

Asy-Syaikh Hasan Janahi berkata: “Demikianlah perhatian mereka kepada shalat dan kekhusyukannya. Akan tetapi, di sisi lain mereka sangat buta tentang rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya, hukum sujud sahwi, dan perkara fiqih lainnya yang berhubungan dengan shalat dan thaharah. Seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh, red) tidaklah mengetahui hal-hal tersebut kecuali hanya segelintir dari mereka.” (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 5- 6).


SIFAT KETIGA
 Keilmuan yang Ditopang dengan Dzikir

Mereka membagi ilmu menjadi dua bagian. Yakni ilmu masail dan ilmu fadhail. Ilmu masail, menurut mereka, adalah ilmu yang dipelajari di negeri masing-masing. Sedangkan ilmu fadhail adalah ilmu yang dipelajari pada khuruj (lihat penjelasan di bawah, red) dan pada majlis-majlis tabligh. Jadi, yang mereka maksudkan dengan ilmu adalah sebagian dari fadhail amal (amalan-amalan utama, pen) serta dasar-dasar pedoman Jamaah (secara umum), seperti sifat yang enam dan yang sejenisnya, dan hampir-hampir tidak ada lagi selain itu.

Orang-orang yang bergaul dengan mereka tidak bisa memungkiri tentang keengganan mereka untuk menimba ilmu agama dari para ulama, serta tentang minimnya mereka dari buku-buku pengetahuan agama Islam. Bahkan mereka berusaha untuk menghalangi orang-orang yang cinta akan ilmu, dan berusaha menjauhkan mereka dari buku-buku agama dan para ulamanya. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 6 dengan ringkas).


SIFAT  KE EMPAT
 Menghormati Setiap Muslim

Sesungguhnya Jamaah Tabligh tidak mempunyai batasan-batasan tertentu dalam merealisasikan sifat keempat ini, khususnya dalam masalah al-wala (kecintaan) dan al-bara (kebencian). Demikian pula perilaku mereka yang bertentangan dengan kandungan sifat keempat ini di mana mereka memusuhi orang-orang yang menasehati mereka atau yang berpisah dari mereka dikarenakan beda pemahaman, walaupun orang tersebut 'alim rabbani. Memang, hal ini tidak terjadi pada semua tablighiyyin, tapi inilah yang disorot oleh kebanyakan orang tentang mereka. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 8)

SIFAT KELIMA 
Memperbaiki Niat

Tidak diragukan lagi bahwasanya memperbaiki niat termasuk pokok agama dan keikhlasan adalah porosnya. Akan tetapi semuanya membutuhkan ilmu. Dikarenakan Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama, maka banyak pula kesalahan mereka dalam merealisasikan sifat kelima ini. Oleh karenanya engkau dapati mereka biasa shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)
SIFAT KE ENAM:
 Dakwah dan Khuruj di Jalan Allah subhanahu wata'ala
  Cara merealisasikannya adalah dengan menempuh khuruj (keluar untuk berdakwah, pen) bersama Jamaah Tabligh, empat bulan untuk seumur hidup, 40 hari pada tiap tahun, tiga hari setiap bulan, atau dua kali berkeliling pada tiap minggu. Yang pertama dengan menetap pada suatu daerah dan yang kedua dengan cara berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain. Hadir pada dua majelis ta’lim setiap hari, majelis ta’lim pertama diadakan di masjid sedangkan yang kedua diadakan di rumah.

Meluangkan waktu 2,5 jam setiap hari untuk menjenguk orang sakit, mengunjungi para sesepuh dan bersilaturahmi, membaca satu juz Al Qur’an setiap hari, memelihara dzikir-dzikir pagi dan sore, membantu para jamaah yang khuruj, serta i’tikaf pada setiap malam Jum’at di markas. Dan sebelum melakukan khuruj, mereka selalu diberi hadiah-hadiah berupa konsep berdakwah (ala mereka, pen) yang disampaikan oleh salah seorang anggota jamaah yang berpengalaman dalam hal khuruj. (Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 9)

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Khuruj di jalan Allah adalah khuruj untuk berperang. Adapun apa yang sekarang ini mereka (Jamaah Tabligh, pen) sebut dengan khuruj maka ini bid’ah. Belum pernah ada (contoh) dari salaf tentang keluarnya seseorang untuk berdakwah di jalan Allah yang harus dibatasi dengan hari-hari tertentu. Bahkan hendaknya berdakwah sesuai dengan kemampuannya tanpa dibatasi dengan jamaah tertentu, atau dibatasi 40 hari, atau lebih sedikit atau lebih banyak.” (Aqwal Ulama As-Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 7)
Asy-Syaikh Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Khuruj mereka ini bukanlah di jalan Allah, tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi berdakwah kepada (pemahaman) Muhammad Ilyas, syaikh mereka yang ada di Banglades (maksudnya India, pen). (Aqwal Ulama As Sunnah fi Jama’atit Tabligh, hal. 6)

Aqidah Jamaah Tabligh dan Para Tokohnya

Jamaah Tabligh dan para tokohnya, merupakan orang-orang yang sangat rancu dalam hal aqidah. Demikian pula kitab referensi utama mereka Tablighi Nishab atau Fadhail A’mal karya Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, merupakan kitab yang penuh dengan kesyirikan, bid’ah, dan khurafat. Di antara sekian banyak kesesatan mereka dalam masalah aqidah adalah:

1. Keyakinan tentang wihdatul wujud (bahwa Allah menyatu dengan alam ini). (Lihat kitab Tablighi Nishab, 2/407, bab Fadhail Shadaqat, cet. Idarah Nasyriyat Islam Urdu Bazar, Lahore).

2. Sikap berlebihan terhadap orang-orang shalih dan keyakinan bahwa mereka mengetahui ilmu ghaib. (Lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Dzikir, hal. 468-469, dan hal. 540-541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).

3. Tawassul kepada Nabi (setelah wafatnya) dan juga kepada selainnya, serta berlebihannya mereka dalam hal ini. (Lihat Fadhail A’mal, bab Shalat, hal. 345, dan juga bab Fadhail Dzikir, hal. 481-482, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).

4. Keyakinan bahwa para syaikh sufi dapat menganugerahkan berkah dan ilmu laduni (lihat Fadhail A’mal, bab Fadhail Qur’an, hal. 202- 203, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).

5. Keyakinan bahwa seseorang bisa mempunyai ilmu kasyaf, yakni bisa menyingkap segala sesuatu dari perkara ghaib atau batin. (Lihat Fadhail A’mal, bab Dzikir, hal. 540- 541, cet. Kutub Khanat Faidhi, Lahore).

6. Hidayah dan keselamatan hanya bisa diraih dengan mengikuti tarekat Rasyid Ahmad Al-Kanhuhi (lihat Shaqalatil Qulub, hal. 190). Oleh karena itu, Muhammad Ilyas sang pendiri Jamaah Tabligh telah membai’atnya di atas tarekat Jisytiyyah pada tahun 1314 H, bahkan terkadang ia bangun malam semata-mata untuk melihat wajah syaikhnya tersebut. (Kitab Sawanih Muhammad Yusuf, hal. 143, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 2).

7. Saling berbai’at terhadap pimpinan mereka di atas empat tarekat sufi: Jisytiyyah, Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, dan Sahruwardiyyah. (Ad-Da'wah fi Jaziratil 'Arab, karya Asy-Syaikh Sa’ad Al-Hushain, hal. 9-10, dinukil dari Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 12).

8. Keyakinan tentang keluarnya tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari kubur beliau untuk berjabat tangan dengan Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i. (Fadhail A’mal, bab Fadhail Ash-Shalati ‘alan Nabi, hal. 19, cet. Idarah Isya’at Diyanat Anarkli, Lahore).

9. Kebenaran suatu kaidah, bahwasanya segala sesuatu yang menyebabkan permusuhan, perpecahan, atau perselisihan -walaupun ia benar- maka harus dibuang sejauh-jauhnya dari manhaj Jamaah. (Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 10).

10. Keharusan untuk bertaqlid (lihat Dzikir Wa I’tikaf Key Ahmiyat, karya Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, hal. 94, dinukil dari Jama'atut Tabligh ‘Aqaiduha wa Ta’rifuha, hal. 70).

11. Banyaknya cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits lemah/ palsu di dalam kitab Fadhail A’mal mereka, di antaranya apa yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Hasan Janahi dalam kitabnya Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, hal. 46-47 dan hal. 50-52. Bahkan cerita-cerita khurafat dan hadits-hadits palsu inilah yang mereka jadikan sebagai bahan utama untuk berdakwah. Wallahul Musta’an.


Fatwa Para Ulama Tentang Jamaah Tabligh

1. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Siapa saja yang berdakwah di jalan Allah bisa disebut “muballigh” artinya: (Sampaikan apa yang datang dariku (Rasulullah), walaupun hanya satu ayat), akan tetapi Jamaah Tabligh India yang ma’ruf dewasa ini mempunyai sekian banyak khurafat, bid’ah dan kesyirikan. Maka dari itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi seorang yang berilmu, yang keluar (khuruj) bersama mereka dalam rangka mengingkari (kebatilan mereka) dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Adapun khuruj, semata ikut dengan mereka maka tidak boleh”.

2. Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Semoga Allah merahmati Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz (atas pengecualian beliau tentang bolehnya khuruj bersama Jamaah Tabligh untuk mengingkari kebatilan mereka dan mengajarkan ilmu kepada mereka, pen), karena jika mereka mau menerima nasehat dan bimbingan dari ahlul ilmi maka tidak akan ada rasa keberatan untuk khuruj bersama mereka. Namun kenyataannya, mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau rujuk dari kebatilan mereka, dikarenakan kuatnya fanatisme mereka dan kuatnya mereka dalam mengikuti hawa nafsu. Jika mereka benar-benar menerima nasehat dari ulama, niscaya mereka telah tinggalkan manhaj mereka yang batil itu dan akan menempuh jalan ahlut tauhid dan ahlus sunnah. Nah, jika demikian permasalahannya, maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka sebagaimana manhaj as-salafush shalih yang berdiri di atas Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal tahdzir (peringatan) terhadap ahlul bid’ah dan peringatan untuk tidak bergaul serta duduk bersama mereka. Yang demikian itu (tidak bolehnya khuruj bersama mereka secara mutlak, pen), dikarenakan termasuk memperbanyak jumlah mereka dan membantu mereka dalam menyebarkan kesesatan. Ini termasuk perbuatan penipuan terhadap Islam dan kaum muslimin, serta sebagai bentuk partisipasi bersama mereka dalam hal dosa dan kekejian. Terlebih lagi mereka saling berbai’at di atas empat tarekat sufi yang padanya terdapat keyakinan hulul, wihdatul wujud, kesyirikan dan kebid’ahan”.
3. Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata: “Bahwasanya organisasi ini (Jamaah Tabligh, pen) tidak ada kebaikan padanya. Dan sungguh ia sebagai organisasi bid’ah dan sesat. Dengan membaca buku-buku mereka, maka benar-benar kami dapati kesesatan, bid’ah, ajakan kepada peribadatan terhadap kubur-kubur dan kesyirikan, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Oleh karena itu -insya Allah- kami akan membantah dan membongkar kesesatan dan kebatilannya”.

4. Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Jamaah Tabligh tidaklah berdiri di atas manhaj Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta pemahaman as-salafus shalih.” Beliau juga berkata: “Dakwah Jamaah Tabligh adalah dakwah sufi modern yang semata-mata berorientasi kepada akhlak. Adapun pembenahan terhadap aqidah masyarakat, maka sedikit pun tidak mereka lakukan, karena -menurut mereka- bisa menyebabkan perpecahan”. Beliau juga berkata: “Maka Jamaah Tabligh tidaklah mempunyai prinsip keilmuan, yang mana mereka adalah orang-orang yang selalu berubah-ubah dengan perubahan yang luar biasa, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada”.

5. Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrazzaq 'Afifi berkata: “Kenyataannya mereka adalah ahlul bid’ah yang menyimpang dan orang-orang tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan Muhammad Ilyas. Mereka tidaklah berdakwah kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan tetapi kepada Muhammad Ilyas, syaikh mereka di Bangladesh (maksudnya India, pen)”.
Demikianlah selayang pandang tentang hakikat Jamaah Tabligh, semoga sebagai nasehat dan peringatan bagi pencari kebenaran. Wallahul Muwaffiq wal Hadi Ila Aqwamith Thariq.

 

KHURUJ BERSAMA JAMAAH TABLIGH

Berikut ini adalah kutipan dari dua fatwa ulama ahli sunnah tentang hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh. Yang pertama adalah fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz sedangkan yang kedua adalah fatwa Syaikh Shalih al Fauzan.

جماعة التبليغ ، والصلاة في المساجد التي فيها قبور
س : سؤال من : م . ع- من أمريكا يقول : خرجت مع جماعة التبليغ للهند والباكستان ، وكنا نجتمع ونصلي في مساجد يوجد بها قبور ، وسمعت أن الصلاة في المسجد الذي يوجد به قبر باطلة فما رأيكم في صلاتي وهل أعيدها؟ وما حكم الخروج معهم لهذه الأماكن؟

Jamaah Tabligh dan Shalat di Masjid yang di Dalamnya Terdapat Kuburan

Pertanyaan dari seseorang yang berdomisili di Amerika
Penanya mengatakan, “Aku ikut khuruj bersama Jamaah Tabligh ke India dan Pakistan. Kami berkumpul dan shalat di masjid-masjid yang di dalamnya terdapat kuburan. Aku pernah mendengar bahwa shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan itu tidak sah. Apa pendapatmu tentang shalatku, apakah aku perlu mengulanginya? Apa hukum ikut khuruj bersama mereka ke tempat-tempat semisal ini?

ج : بسم الله ، والحمد لله ، أما بعد :
جماعة التبليغ ليس عندهم بصيرة في مسائل العقيدة فلا يجوز الخروج معهم إلا لمن لديه علم وبصيرة بالعقيدة الصحيحة التي عليها أهل السنة والجماعة حتى يرشدهم وينصحهم ويتعاون معهم على الخير ؛ لأنهم نشيطون في عملهم ، لكنهم يحتاجون إلى المزيد من العلم ، وإلى من يبصرهم من علماء التوحيد والسنة .
رزق الله الجميع الفقه في الدين والثبات عليه .

Syaikh Ibnu Baaz mengatakan, “Bismillah wal Hamdu lillah. Amma Ba’du.
Jamaah Tabligh itu tidak memiliki ilmu tentang berbagai permasalahan akidah. Oleh karena itu, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali bagi orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang akidah yang benar. Itulah akidah ahli sunnah wal jamaah. Dengan demikian orang tersebut bisa membimbing dan menasehati mereka serta bisa tolong menolong bersama mereka dalam kebaikan.
Mereka adalah orang-orang yang bersemangat dalam kerja dakwah namun mereka memerlukan tambahan ilmu. Mereka juga memerlukan ulama yang faham tentang tauhid dan sunnah yang bisa mengajari mereka.
Moga Allah memberikan kepada semuanya pemahaman yang baik tentang agama dan konsisten dengannya.

أما الصلاة في المساجد التي فيها القبور فلا تصح ، والواجب إعادة ما صليت فيها ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد متفق على صحته ،

Shalat yang dikerjakan di dalam masjid yang ada kuburan di dalamnya itu tidak sah. Anda memiliki kewajiban untuk mengulangi shalat yang telah anda lakukan di dalam masjid tersebut. Dalam masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah itu melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah” (HR Bukhari dan Muslim).

وقوله صلى الله عليه وسلم : ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك أخرجه مسلم في صحيحه . والأحاديث في هذا الباب كثيرة .
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد ، وآله وصحبه وسلم .

Dalil yang lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ingatlah, orang-orang sebelum kalian itu menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih di antara mereka sebagai tempat ibadah. Ingatlah janganlah kalian jadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Sungguh aku melarang hal tersebut” (HR Muslim).

Hadits-hadits tentang hal ini banyak sekali”.

نشرت في مجلة الدعوة في العدد ( 1438 ) بتاريخ 3 / 11 / 1414 هـ .

Fatwa ini pertama kali dipublikasikan di majalah ad Dakwah edisi 1438 tanggal 3 Dzulqa’dah 1414 H [Fatwa Syaikh Ibnu Baz ini ada di Majmu al Fatawa wa al Maqolat al Mutanawi’ah jilid 8 hal 331. Bisa juga dilihat di buku Kasyfu as Sattar karya Muhammad bin Nashir al ‘Uraini hal 68-69].

Dari fatwa ini kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran:

1. Hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh itu pada asalnya haram kecuali seorang yang berilmu (baca: ustadz salafy) yang diharapkan bisa membimbing mereka kepada akidah dan cara beragama yang benar.
2. Tolong menolong atau kerja sama dengan Jamaah Tabligh asalkan dalam kebaikan itu diperbolehkan. Namun ingat tolak ukur kebaikan itu timbangan syariah, bukan sekedar perasaan.
3. Dalam fatwa di atas Ibnu Baz memuji Jamaah Tabligh dalam sisi semangat dalam kerja dakwah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pujian kepada kelompok yang dinilai sesat itu terlarang tanpa terkecuali. Yang benar hukum tindakan semacam ini tergantung motif dan konteks pembicaraan.
4. Sisi kebaikan yang dimiliki sebuah kelompok ‘bermasalah’ tidaklah menghalangi kita untuk mengingatkan orang lain terhadap bahaya kelompok tersebut. Dalam fatwa di atas, sisi kebaikan yang ada pada Jamaah Tabligh tidak menghalangi Ibnu Baz untuk melarang khuruj bersama mereka bagi orang yang tidak memiliki ilmu.

و المقصود جماعة التبليغ التي شغلت الناس في هذا الزمان و هي جماعة ضالة في معتقدها و منهجها و نشأتها كما وضح ذلك الخبيرون بها مما تواتر عنهم مما لا يدع مجالا للشك في ضلال هذه الجماعة و تحريم مشاركتها و مساعدتها و الخروج معها فيجب على المسلمين الحذر منها و التحذير منها.

Syaikh Shalih al Fauzan mengatakan, “Intinya, Jamaah Tabligh yang telah menyita perhatian banyak orang di zaman ini adalah kelompok yang sesat dalam akidah, jalan beragama dan awal tumbuhnya sebagaimana penjelasan orang-orang yang benar-benar mengetahui mereka. Penjelasan para pakar dalam hal ini banyak sekali.

Hal ini menyebabkan tidak ada lagi tersisa ruang untuk meragukan kesesatan kelompok ini. Haram hukumnya berperan serta dan membantu acara-acara mereka serta khuruj bersama mereka.

Seluruh kaum muslimin memiliki kewajiban untuk mewaspadai mereka dan mengingatkan orang lain agar tidak mengikuti mereka” (Kata pengantar Syaikh Shalih al Fauzan untuk buku Kasyfu al Sattar karya Muhammad bin Nashir al ‘Uraini hal 5).

Dari penjelasan Syaikh Shalih al Fauzan ini kita bisa membuat kesimpulan bahwa hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh menurut beliau haram secara mutlak. Kita simpulkan demikian, karena beliau tidak memberi pengecualian.
Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa hukum khuruj bersama Jamaah Tabligh itu diperselisihkan, ada yang melarang secara mutlak semisal Syaikh Shalih al Fauzan atau memberi pengecualian dalam kondisi tertentu sbagaimana penjelasan Ibnu Baz.
Oleh karena itu dalam masalah ini dan yang semisal hendaknya kita tidak memakai ‘kaca mata kuda’ sehingga menilai masalah yang diperselisihkan di antara para ulama ahli sunnah sebagaimana masalah yang menjadi konsesus semua ulama ahli sunnah